Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Pada intinya, yang banyaklah yang menang dan yang banyak dianggap sebagai suatu kebenaran.
"Many forms of Government have been tried, and will be tried in this world of sin and woe. No one pretends that democracy is perfect or all-wise. Indeed, it has been said that democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time."
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umumlegislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Demokrasi Menurut Soekarno
Pada dasarnya,Soekarno tidak setuju kalau Indonesia disebut negara demokrasi dan Soekarno ingin mengubah Indonesia sebagai negara sosialis.Karena Menurutnya,Demokrasi itu berasal dari kata Demok dan Krasi yang berarti " Sing gede di mok-mok,Sing Kecil di krasi " atau "yang besar di pegang-pegang yang kecil diinjak-injak".Maksudnya, Demokrasi menurut Soekarno itu tidak mementingkan rakyat secara keseluruhan,tetapi hanya rakyat yang besar saja yang diperhatikan,oleh karena itu Soekarno tidak setuju.
Jadi memang sangat disarankan untuk tidak menggunakan Sistem Demokrasi dalam pemerintahan suatu negara. Karena sangat merugikan masyarakat luas. Sistem pemerintahan yang paling baik dan efektif untuk suatu negara adalah Sistem Pemerintahan Syariat Islam. Karena sangat menjunjung tinggi keadilan untuk rakyatnya. Sistem yang telah dibuktikan sangat baik berjalan pada masa kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Ideologi Islam terbukti menjadi cara yang paling baik untuk umat manusia.
Secara historis hak asasi manusia sebagaimana yang saat ini dikenal (baik yang di cantumkan dalam berbagai piagam maupun dalam UUD), memiliki riwayat perjuangan panjang bahkan sejak Abad Ke-13 perjuangan untuk mengukuhkan gagasan hak asasi manusia ini sesudah dimulai segera setelah di tanda tanganinya Magna Charta pada tahun 1215 oleh raja John Lackbland, maka sering kali peristiwa ini di catat sebagai permulaan dari sejarah perjuangan hak-hak asasi manusia, sekali pun sesungguhnya piagam ini belum merupakan perlindungan terhadap hak-hak asasi sebagaimana yang di kenal surat ini (Muh. Kusnardi dan ibrahim,1981:307).
Menurut Muhammad Kusnardi dan Ibrahim (1981:308), bahwasannya perkembangan dari hak-hak asasi manusia adalah dengan ditanda tanganinya Polition of Rights pada tahun 1628 oleh raja Charles 1. Kalau pada tahun 1215 raja berhadapan dengan kaum bangsawan dan gereja, yang mendorong lahirnya Magna Charta, maka pada tahun 1628 tersebut raja berhadapan dengan parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (The House Of Comouons) kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak asasi manusia memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi.
Namun dalam hal ini yang perlu dicatat, bahwasannya hak asasi manusia itu telah ada sejak abad 13,karena telah adanya pejuangan-perjuangan dari rakyat untuk mengukuhkan gagasan hak asasi mausia sudah di miliki.
2.Pengertian HAM
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatannya, serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
HAM memiliki beberapa ciri khusus, yaitu sebagai berikut:
1)Hakiki (ada pada setiap diri manusia sebagai makhluk Tuhan).
2)Universal, artinya hak itu berlaku untuk semua orang.
3)Permanen dan tidak dapat dicabut.
4)Tak dapat dibagi, artinya semua orang berhak mendapatkan semua hak.
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormat3.Macam-Macam HAM
Perkembangan tuntutan HAM berdasar tingkat kemajuan peradaban budaya dapat dibagi secara garis besar meliputi bidang sebagai berikut.
a.Hak asasi pribadi (personal rights)
b.Hak asasi di bidang politik (politic rights)
c.Hak asasi di bidang ekonomi (economic and property rights)
d.Hak asasi di bidang sosial budaya (social and cultural rights)
e.Hak untuk memajukan ilmu dan teknologi
f.Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights)
g.Hak asasi di bidang HANKAM (defense and security rights)
2.Peran Serta dalam Upaya Pemajuan, Penghormatan, dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Kategori pelanggaran HAM sebagai berikut.
1)Pembunuhan besar-besaran (genocide),
2)Rasialisme resmi (politik apartheid),
3)Terorisme resmi berskala besar,
4)Pemerintahan Totaliter,
5)Penolakan secara sadar,
6)Perusakan kualitas lingkungan (ecocide)
7)Kejahatan perang.
Upaya penegakan HAM merupakan kewajiban bersama. Untuk mengetahui secara pasti tentang partisipasi perlindungan dan penegakkan HAM di Indonesia maka KOMNAS HAM menekankan
1)Membantu terwujudnya peradilan kredibel;
2)Memprakarsai dan menfasilitasi pembentukan komnas HAM di daerah-daerah;
3)Mengatasi pelanggaran HAM berat;
4)Meningkatkan kemampuan para penegak hukum;
5)Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat;
6)Menjamin berlanjutnya proses hokum;
7)Membuat kriteria dan indikator pelanggaran HAM
4. Hak-Hak Asasi Dalam Undang-undang Dasar 1945
Telah di jelaskanpada pembangiansebelumnya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari tiga bagianyang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu pembukaan, batang tubuh yang terdiri dari Pasal 37.
A. Dalam Pembukaan
Sesungguhnya pembukaan undang-undang dasar 1945 banyak menyebutkan hak-hak asasi sejak alinia pertama sampai alinia keempat.
- Alinea pertama pada hakekatnya adalah merupakan pengakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka.pengakuan akan perikemanusiaanadalah inti saridari hak-hak asasi manusia,
- Alinea kedua: Indonesia sebagai negara yang adil
- Alinea ketiga: Dapat disimpulkan bahwa rakyat indonesia menyatakan kemerdekaannya supaya tercapai kehidupan bangsa indonesia yang bebas.
- Alinea ke empat: berisikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam segala bidang
B. Dalam Batang Tubuh
Undang-undang dasar 1945 mengatur hak-hak asasi manusia dalam 7 pasal ,yaitu Pasal-Pasal yang langsung berbicara mengenai hak-hak asasi. Ketujuh pasal tersebut adalah :
1.Pasal 27: Tentang persamaan dalam hukum dan penghidupan yang layak bagi manusia.
2.Pasal 28: Tentang kebebasan berserikat,berkumpul,dan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan.
3.Pasal 29: Tentang kemerdekaan untuk memeluk agama
4.Pasal 31: Tentang hak untuk mendapat pengajaran
5.Pasal 32: Perlindungan yang bersifat kulturil
6.Pasal 33: Tentang hak ekonomi
7.Pasal 34: Tentang kesejahteraan sosial
Namun dalam hal ini yang perlu dicatat, bahwa dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam batang tubuh UUD 1945. Hak-hak asasi itu telah ada. Karena itu tidak heranlah bahwasannya Negara Indonesia saat ini telah mengatur masalah UUD 1945, dan yang harus dipikirkan oleh pemerintah adalah bagaimana supaya segera menyusun undang-undang pelaksanaannya.
5. Penegakan HAM di Indonesia, Instrumen Hukum, dan Peradilan Internasional
Bangsa Indonesia menyatakan hak-hak asasinya dalam berbagai peraturan perundangan sebagai berikut.
1.UUD 1945
2.Tap. MPR No. XXVI/MPR/1998 tentang HAM
3.UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM
4.UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Indonesia mempunyai tugas pokok, yaitu meningkatkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sedangkan Pengadilan HAM memiliki wewenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk yang dilakukan di luar territorial wilayah NegaraRI oleh Warga Negara Indonesia.
6. Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM Di Indonesia
Adapun aspek yang menjadi penyebab pelanggaran HAM dalam penegakan HAM tidak mudah, antara lain sebagai berikut.
1.Belum adanya pemahaman dan kesadaran.
2.Kurang adanya kepastian hukum terhadap pelanggar HAM.
3.Adanya campur tangan dalam lembaga peradilan.
4.Kurang berfungsinya lembaga penegak hukum.
7. Instrumen Hukum dan Peradilan HAM
Dalam Piagam PBB berkali-kali diulang bahwa PBB akan mendorong, mengembangkan, dan mendukung penghormatan secara Universal dan efektif hak-hak asasi dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, gender, bahasa, dan agama.
Organisasi Buruh Sedunia (ILO) yang bertugas memperbaiki syarat-syarat bekerja dan Disamping itu, ada dua badan khusus PBB yang juga menangani HAM hidup para buruh. Badan yang kedua adalah UNESCO yang mempunyai tugas meningkatkan kerja sama antarbangsa melalui pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Pada tanggal 16 desember 1966, disahkan Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights dan Internasional Covenant on Civil and Political Rights. Pejanjian Internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang mulai berlaku sejak tanggal 3 Januari 1976. Perjanjian ini berupaya meningkatkan dan melindungi tiga kategori hak, yaitu sebagai berikut.
1.Hak untuk bekerja.
2.Hak atas perlindungan social.
3.Hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Pejanjian ini juga melarang perampasan sewenang-wenang atas kehidupan, penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat, perbudakan, kerja paksa, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan lain-lainnya.ng kedua adalah UNESCO yang mempunyai tugas meningkatkan kerja sama antarban
KESIMPULAN
Dari deskripsi diatas dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia itu baru muncul pada abad Ke-13, dan tetapi setelah ditanda tanganinya Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland, maka seringkali peristiwa itu dicatat sebagai penilaian dari sejarah perjuangan hak-hak asasi manusia itu.
Adapun yang dimaksud dengan HAM (Hak Asasi Manusia) itu sendiri adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan yang di bawah sejak lahir.
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap
kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan
berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar
HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara
sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian
disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi
Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).
Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan
demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah.
"Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi
soal karena dalam proses," kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi
historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat
penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu
pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah
untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR
itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan
dengan masalah HAM. "Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM
sudah menyatu," katanya.
Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum
merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa.
Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi atau
pemersatu bangsa.
Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman
masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu. Lingkungan
hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah.
"Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,"
katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan
nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
"Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM," katanya.
Konstelasi politik
Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu
realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi
politik.
Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian
terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah
daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang
konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti
Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. "Perlu ada pelurusan terhadap
gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,"
katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa
rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah.
"Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis," kata Marzuki. Kesadaran
akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan
politik.
Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah
maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang
terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar
tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut
sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah
Megawati Soekarnoputri konstitusional.
Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni
penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang
menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak
terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan
oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. "Padahal itu menyentuh
HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah," katanya.
Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar
Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan
konsitusi UUD '45. "Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan
nilai budaya yang berlaku," katanya.
Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik
seringkali disebut-sebut "HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang
berbeda dengan HAM universal". "Itu tidak benar. Tidak berarti kita
punya prinsip HAM sendiri," kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut.
Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam
masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. "Coba cari
HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,"
katanya.
Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah
menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan
mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar. (ush)
Sumber:google
Sistem perkonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut.
Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan.
Perekonomian terencana
Ada dua bentuk utama perekonomian terencana, yaitu komunisme dan sosialisme. Sebagai wujud pemikiran Karl Marx, komunisme adalah sistem yang mengharuskan pemerintah memiliki dan menggunakan seluruh faktor produksi. Namun, lanjutnya, kepemilikan pemerintah atas faktor-faktor produksi tersebut hanyalah sementara; Ketika perekonomian masyarakat dianggap telah matang, pemerintah harus memberikan hak atas faktor-faktor produksi itu kepada para buruh.
Uni Soviet dan banyak negara Eropa Timur lainnya menggunakan sistem ekonomi ini hingga akhir abad ke-20. Namun saat ini, hanya Kuba, Korea Utara, Vietnam, dan RRC yang menggunakan sistem ini. Negara-negara itu pun tidak sepenuhnya mengatur faktor produksi. China, misalnya, mulai melonggarkan peraturan dan memperbolehkan perusahaan swasta mengontrol faktor produksinya sendiri.
Perekonomian pasar
Perekonomian pasar bergantung pada kapitalisme dan liberalisme untuk menciptakan sebuah lingkungan di mana produsen dan konsumen bebas menjual dan membeli barang yang mereka inginkan (dalam batas-batas tertentu). Sebagai akibatnya, barang yang diproduksi dan harga yang berlaku ditentukan oleh mekanisme penawaran-permintaan.
Perekonomian pasar campuran
Perekonomian pasar campuran atau mixed market economies adalah gabungan antara sistem perekonomian pasar dan terencana. Menurut Griffin, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang benar-benar melaksanakan perekonomian pasar atau pun terencana, bahkan negara seperti Amerika Serikat. Meskipun dikenal sangat bebas, pemerintah Amerika Serikat tetap mengeluarkan beberapa peraturan yang membatasi kegiatan ekonomi. Misalnya larangan untuk menjual barang-barang tertentu untuk anak di bawah umur, pengontrolan iklan (advertising), dan lain-lain. Begitu pula dengan negara-negara perekonomian terencana. Saat ini, banyak negara-negara Blok Timur yang telah melakukan privatisasi—pengubahan status perusahaaan pemerintah menjadi perusahaan swasta.
Referensi
Griffin R dan Ronald Elbert. 2006. Business. New Jersey: Pearson Education.
Indonesia adalah sebuah negara dengan pemerintah berbentuk republik dan negara yang berbentuk kesatuan berdasarkan UUD 1945. Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni atau pure separation of powers, melainkan partial separation of powers atau pembagian kekuasaan, dengan sentral berada pada pemerintah Indonesia, hal ini tercermin dari dimilikinya sebagian kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif oleh presiden (eksekutif). Kekuasaan yang dimiliki eksekutif dalam bidang yudikatif meliputi pemberian grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung Indonesia serta abolisi dan amnesti dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan kekuasaan eksekutif dalam bidang legislatif meliputi menetapkan Perpu dan Peraturan Pemerintah. Sistem pemerintahan Indonesia sering disebut sebagai "sistem pemerintahan presidensial dengan sifat parlementer". Setelah Kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto, reformasi besar-besaran segera dilakukan di bidang politik.
Proses reformasi
Proses reformasi dalam kancah politik Indonesia telah berjalan sejak 1998dan telah menghasilkan banyak perubahan penting.
Di antaranya adalah pengurangan masa jabatan menjadi 2 kali masa bakti dengan masing-masing masa bakti selama 5 tahun untuk presiden dan wakil presiden, serta dilaksanakannya langkah-langkah untuk memeriksa institusi bermasalah dan keuangan negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang fungsinya meliputi: melantik presiden dan wakil presiden (sejak 2004 presiden dipilih langsung oleh rakyat), menciptakan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mengamandemen UUD dan mengesahkan undang-undang. MPR beranggotakan 695 orang yang meliputi seluruh anggota DPR yang beranggotakan 560 orang ditambah 132 orang dari perwakilan daerah yang dipilih dari masing-masing DPRD tiap-tiap provinsi serta 65 anggota yang ditunjuk dari berbagai golongan profesi.
DPR, yang merupakan institusi legislatif, mencakup 462 anggota yang terpilih melalui sistem perwakilan distrik maupun proporsional (campuran). Sebelum pemilu 2004, TNI dan Polri memiliki perwakilan di DPR dan perwakilannya di MPR akan berakhir pada tahun 2009. Perwakilan kelompok golongan di MPR telah ditiadakan pada 2004. Dominasi militer di dalam pemerintahan daerah perlahan-lahan menghilang setelah peraturan yang baru melarang anggota militer yang masih aktif untuk memasuki dunia politik.
“Jangan tanyakan apa yang dapat negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang sudah Anda berikan kepada negara.” (Presiden AS John F. Kennedy)
Semangat nasionalisme yang berada di balik makna ungkapan yang populer ke seantero jagat itu agaknya sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia. Kendati demikian, potret negeri ini dewasa ini justru menggambarkan dengan gamblang betapa kesadaran bernegara, kesediaan berkorban membela negara, dan mencintai negara pada warga negara sudah mengalami erosi yang sangat tajam.
Secara obyektif, Budi Harsono menilai faktor penyebab dari profil ironis anak bangsa dewasa ini adalah kesalahan pada sistem pembangunan nasional masa silam. Pembangunan aspek sumber daya manusia (SDM) yang seharusnya mendapat tempat teratas justru tidak menjadi prioritas utama pembangunan jangka panjang alias kurang diperhatikan.
Selama ini, konsep pembangunan SDM dilaksanakan secara beriringan dengan derap pembangunan fisik-material atau pembangunan ekonomi. Namun, dalam praktiknya, pembangunan SDM tertinggal dari pembangunan ekonomi. Akibatnya, hasil pembangunan SDM dari proses pendidikan kurang maksimal.
Sebagai ekses dari hasil pembangunan di bidang ekonomi, SDM bangsa ini yang terbentuk cenderung memiliki sikap, mental, dan perilaku yang materialistis, individualistis, dan pragmatis.
“Setiap orang hanya cenderung memikirkan kepentingannya sendiri. Setiap individu berpikir dan bertindak berdasarkan imbalan apa yang bakal dia peroleh saja. Cara pandang seperti itulah yang dominan merasuki benak SDM kita dewasa ini. Kita bisa rasakan itu,” papar Budi.
Indikasinya, bisa dilihat dari gambaran umum kualitas produk akhir yang dihasilkan sistem pendidikan nasional sebagai media pembangunan SDM. Pembangunan SDM-lah yang semestinya diprogramkan lebih awal.
Memang, membangun SDM bukanlah suatu yang instan. Segala jerih-payah dari apa yang dikerjakan sekarang baru bisa dipetik hasilnya oleh bangsa ini pada 15 tahun sampai 20 tahun yang akan datang.
Sedangkan, yang namanya, membangun SDM haruslah dari awal dan sistematis karena hasilnya baru bisa dirasakan manfaatnya oleh bangsa ini dalam jangka panjang. Berbeda sekali dengan pembangunan fisik, seperti jembatan, jalan, atau gedung perkantoran, yang hasilnya sudah bisa langsung dilihat dan diperoleh hasilnya dalam jangka pendek.
Karena itu, dalam membangun SDM antara lain tentang aspek-aspek kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara inilah yang sejatinya perlu dibangun dan ditumbuhkan secara terus-menerus oleh bangsa ini.
Dengan kata lain, bukan hanya aspek intelektualitas dan keterampilan yang dibangun tapi juga aspek budi pekerti dan cinta pada negara. Sekarang hampir tidak ada pendidikan yang memberikan secara maksimal budi pekerti serta kesadaran bernegara dan membela negara.
Akibatnya, rasa cinta kepada negara semakin hari semakin menipis di jiwa warga negara. Belum lagi derasnya pengaruh globalisasi sekarang ini semakin mempengaruhi hilangnya kecintaan kepada negara. “Fondasi bangsa ini sudah keropos!” tukas Budi Harsono.
Padahal, di masa perjuangan bangsa ini merebut kemerdekaan pada tahun 1945, dengan hanya bersenjatakan bambu runcing, para pahlawan kusuma bangsa berani melawan penjajah yang bersenjata lengkap.
Para pahlawan rela mengorbankan jiwa dan raganya karena memiliki kebanggaan dan kecintaan pada negaranya. Mati pun tidak apa-apa. Semangat itu dikwatirkan pada suatu saat akan hilang karena dari hari ke hari terus meluntur.
Semangat dan idealisme itu harus dibangkitkan dan ditumbuhkembangkan kembali, dalam hal ini melalui media pendidikan. Dalam kurikulum pendidikan mesti ada penanaman nilai dan semangat bernegara dan kesadaran bela negara.
‘Mengapa saya harus mencintai negara ini?’ dan ‘Mengapa saya mesti berkorban untuk negara ini?’ adalah dua pertanyaan besar yang bisa menjadi pintu masuk penanaman kesadaran bela negara dan idealisme kebangsaan itu melalui setiap jenjang pendidikan.
“Intinya, sejak kecil setiap warga negara yang sedang mengecap bangku pendidikan pada setiap jenjangnya diberikan motivasi untuk mencintai dan bangga kepada negaranya,” ucapnya.
Namun membangun motivasi warga negara bukanlah pekerjaan instan. Sebab, membangun motivasi bukan indoktrinasi, melainkan membangkitkan kesadaran eksistensial setiap warga negara sebagai anak bangsa.
Satu hal yang patut pula digarisbawahi, membela negara ini tidak hanya tugas TNI tapi juga seluruh komponen bangsa ini. Penekanan akan kondisi itu masih sangat kurang pada negara ini. Padahal, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak memberikan kesadaran bela negara kepada warga negaranya.
Bahaya Narkoba, sekadar satu contoh, haruslah dipersepsikan sebagai sebuah ancaman yang sangat berbahaya bagi seluruh bangsa ini. Mengancam generasi muda harapan bangsa dan ujung-ujungnya membuat kemampuan bela negara pada warga negara menjadi rapuh.
Kesadaran bela negara itu hakikatnya kesediaan berbakti pada negaranya dan kesediaan berkorban membela negaranya. Ini yang sangat kurang pada warga negara Indonesia. Itu bisa dirasakan bersama. Tengok saja kiprah sebagian LSM lokal yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan NGO-NGO asing yang menjadi donornya ketimbang kepentingan bangsanya sendiri.
Menunjuk fenomena di Korea Selatan, Jepang, dan Cina sebagai salah satu contoh konkret hasil penanaman kesadaran bernegara, Budi Harsono mengatakan, rakyat negara-negara itu dengan penuh kesadaran mengkonsumsi produk dalam negerinya. Bukan dari negara luar. Rakyat Korea Selatan dan Jepang lebih suka memakai mobil produknya sendiri daripada produksi negara luar.
Perlu disadari, perang di era sekarang sudah bersifat semesta. Setiap negara sudah harus siap berperang. Sekadar ilustrasi, dalam perang modern yang pertama dilumpuhkan adalah pusat-pusat logistik seperti instalasi listrik, jalan-jalan, jembatan, lapangan terbang. Tujuannya agar negara itu menjadi lumpuh. Kalau sudah lumpuh, mudah untuk dikalahkan.
Bertolak dari hal itulah, dalam konteks Indonesia saat ini, kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara harus terus ditumbuhkembangkan kepada setiap warga negara agar, pada gilirannya, mereka memiliki kebanggaan, dan mampu membela negaranya sendiri. Lebih jauh dari itu, mereka mau mengabdikan diri dan bersedia berkorban untuk negaranya. Hanya saja, kesadaran warga negara untuk berkorban akan muncul bila negara (baca: pemerintah) memperhatikan nasib mereka.
Bangkitkan Kepercayaan Rakyat Bagaimanapun, bertumbuh dan berkembangnya semangat bernegara dan kesadaran bela negara mensyaratkan adanya hubungan timbal-balik antara pemerintah dan rakyat.
Pemerintah tidak bisa sekadar menuntut rakyat tanpa menunjukkan kinerja yang baik, khususnya bahwa apa yang pemerintah perbuat memang semata-mata untuk kepentingan rakyat.
Pemerintah harus mampu membuat rakyat merasakan bahwa pemerintah telah berbuat banyak dan bekerja keras untuk mereka. Rakyat harus merasakan manfaat dari apa-apa yang diperbuat pemerintah sehingga rakyat mau berpartisipasi dalam membangun negaranya.
Ada kesadaran warga negara untuk ikhlas menanggung beban dari derap pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah. Sebab, setiap warga negara tahu bahwa pemerintah berbuat maksimal untuk kepentingannya juga. Ironisnya, dalam hemat Budi, kondisi tersebut masih jauh dari harapan.
Contoh paling konkret, kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Idealnya, rakyat bersedia menanggung beban akibat kenaikan harga BBM tersebut karena rakyat tahu bahwa pemerintah memang tidak punya cara atau jalan keluar lain menyiasati tingginya harga minyak di pasar dunia. Rakyat mengerti bahwa pemerintah berbuat demikian untuk kepentingan semua. Untuk keselamatan bangsa.
Tapi realitasnya ada ketidak percayaan masyarakat kepada pemerintah dan ada miskomunikasi antara pemerintah dan rakyat. Rakyat masih menilai secara apriori kebijakan pemerintah tersebut. Persoalan komunikasi antara pemerintah dan rakyat itu mesti diperhatikan.
Sebab, jalinan komunikasi yang baik sangat berperan dalam menciptakan tumbuhnya kepercayaan rakyat kepada negara. Bila sudah tumbuh kepercayaannya kepada pemerintah, rakyat pun akan mau menanggung beban pembangunan. Sehingga, rakyat memahami pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan yang jelas.
“Tantangan besar bagi pemerintah untuk menumbuhkan kepercayaan rakyat. Untuk itu, pemerintah harus punya sense of crisis dan kepedulian kepada nasib rakyat. Dari situlah baru bisa dibenahi semua,” tandas Budi.
Contoh yang lain, ada keinginan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Rakyat menilai kinerja PLN sendiri masih belum benar. Biaya produksinya masih sangat tinggi. Jadi, sebelum menaikkan TDL, pemerintah sebaiknya membenahi dulu kinerja PLN secara konkret.
“Tumbuhkan kepercayaan pada rakyat bahwa pemerintah betul-betul membenahi kinerja PLN. Lakukan efisiensi, audit dengan baik, turunkan biaya produksi dan sebagainya,” ujar Budi Harsono.
Biaya produksi PLN masih sangat tinggi yakni sebesar 11 sen dolar per-KWH. Bandingkan dengan biaya produksi listrik di Malaysia atau Singapura yang hanya 6 sen dolar per-KWH.
Alasannya, PLN masih menggunakan pembangkit listrik yang berbahan bakar minyak. Bandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik di Malaysia dan Singapura yang sudah berbahan bakar gas dan batubara.
Dengan melaksanakan program-programnya pemerintah perlu menumbuhkan kepercayaan rakyat, agar rakyat bersedia menanggung beban secara sukarela dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah.
Budi kembali mengingatkan, semangat bernegara dan kesadaran bela negara bisa tumbuh dengan sendirinya pada rakyat sepanjang ada kepercayaan rakyat bahwa pemerintah memang memperhatikan nasibnya. Akan tumbuh gairah setiap individu dan masyarakat untuk berkarya, berbuat untuk negaranya.
Hubungan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat akan membuat Negara maju, dan dengan sendirinya akan tumbuh kesadaran kenegaraan dan kesadaran bela Negara dari setiap individu masyarakat.
“Sekarang, banyak orang yang bersikap apatis. Jangankan memikirkan lingkungannya, untuk mengurusi dirinya sendiri saja susah. Padahal, kesadaran bernegara dan bela negara berawal dari kesadaran pada lingkungan terkecil: dari keluarga, RT, RW, kelurahan, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi, hingga akhirnya pada negara.”
Bangsa Butuh Pemimpin Panutan Di tengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang terpuruk di berbagai bidang kehidupan, Budi Harsono menggarisbawahi, upaya membangkitkan semangat bernegara dan kesadaran bela negara pada warga negara relatif tidak mudah.
Karenanya, bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang bisa menampilkan dirinya sebagai tokoh yang bias dipercaya dan menjadi panutan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin panutan adalah yang mau dan mampu memberikan contoh teladan.
Pemimpin panutan adalah pemimpin yang berani mengambil keputusan dengan segala risikonya. Sosok pemimpin yang kuat, berani, dihormati karena perilakunya, dan mampu memberi contoh konkret. Pemimpin yang konsekuen dan konsisten mempraktikkan apa yang dia ucapkan.
Misalnya, ketika Sang Pemimpin memimpin gerakan hidup sederhana kepada rakyatnya, maka dia sendiri harus benar-benar hidup secara sederhana.
Bukan pemimpin yang cari untung dan mengutamakan kepentingannya sendiri. Bukan pula pemimpin yang bicara A tapi kelakuannya B. Pemimpin dengan karakter seperti itu tidak akan laku. Sosok pemimpin yang memiliki mental cari selamat tidak bisa diandalkan membangun negeri ini, dan membawa bangsa ini dari lembah keterpurukan.
Tapi, tragisnya, sejauh ini bangsa Indonesia belum mempunyai sosok pemimpin ideal seperti itu. Tokoh-tokoh panutan sudah punah dan hampir tidak ada lagi figur-figur yang bisa menjadi pemimpin panutan.
boleh dibilang wawas- an kebangsaan sudah menjadi bagian dari hidup kedua penulis buku ini sejak lama. Namun, dengan rendah hati, penulis tersebut mengklaim bahwa pemikiran di dalam buku ini bukanlah milik mereka berdua, melainkan milik rakyat dan bangsa Indonesia yang memberikan ruang kepadanya untuk belajar hidup, berpikir, menggagas, dan saling bergalang-gagas.
Berbekal dari pengalamannya selama ini tak berlebihan kalau buku ini merupakan acuan dasar dalam memahami dan menumbuhkembangkan wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan yang dimaksud bersumber dari semangat Proklamasi dan UUD 1945.
Artinya, setiap manusia haruslah merdeka berdaulat, aman, terlindungi, sejahtera, cerdas, menjaga tertib dunia. Selain itu, dalam kenyataan kita harus percaya (yakin) bahwa Allah SWT serbamaha; Kaya, Adil, Bijaksana, dan lain-lain.
Berdasarkan berbagai pengalaman nyata itulah dapat ditarik benang merah bahwa jika bangsa dan negara Indonesia ingin maju dan disegani bangsa-bangsa lain, kunci utamanya adalah cinta terhadap bangsa dan negara sendiri. Karena itulah, kehadiran buku ini diharapkan mampu membangkitkan kembali kesadaran berbangsa dan bernegara di Indonesia yang mulai meredup belakangan ini.
Buku yang diperkaya berdasarkan masukan dari berbagai pihak ini dapat mempermudah para pelaku sosialisasi wawasan kebangsaan, baik di pusat maupun di daerah, termasuk para guru SD, SLTP, dan SLTA. Dengan demikian mereka dapat memperoleh materi sosialisasi wawasan kebangsaan secara mudah dan lengkap.
Buku ini mengulas berbagai topik menarik dan aktual di seputar wawasan Nusantara, ketahanan dan kewaspadaan nasional, demokrasi Indonesia, moralitas bangsa, hak asasi manusia, kerukunan hidup antarumat beragama, manajemen konflik, globalisasi, otonomi daerah, sistem manajemen nasional dalam pembangunan daerah, ekonomi kerakyatan, serta bela negara.
Dituturkan dengan bahasa yang ringan dan populer membuat buku ini bisa dipahami oleh para generasi muda dan siapa saja yang berminat dalam mencintai bangsa dan negaranya. Selain itu, buku ini dapat mempermudah para pelaku sosialisasi, baik di pusat maupun di daerah, untuk mendalami masalah wawasan kebangsaan.
Berbagai Persoalan
Sementara itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dalam pengantarnya mengatakan, upaya pemerintah membangun ekonomi bangsa menjadi tidak mudah karena harus menangani para warganya yang dirundung kesedihan akibat dahsyatnya bencana alam tersebut. Angka kemiskinan dan pengangguran semakin panjang. Hal inilah yang menjadi salah satu persoalan tersendiri dalam pembangunan kesejahteraan sosial masa kini dan masa depan.
"Dengan melihat berbagai fakta di lapangan, saya yakin, kita akan terus menghadapi berbagai permasalahan pembangunan kesejahteraan sosial. Bahkan, kalau kita tidak pandai menanganinya, bisa jadi, masyarakat miskin kian melonjak," ujarnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial ke depan perlu diperkuat dengan lebih mengedepankan peran aktif masyarakat. Dari situ lalu diikuti dengan penggalian dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya, seperti kesetiakawanan sosial dan gotong royong.
Gerakan reformasi dalam beberapa hal memang telah membawa perubahan yang cukup berarti seperti amandemen UUD 1945, otonomi daerah, dan kebebasan pers. Namun di balik itu, kehidupan bangsa Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki. Krisis ekonomi dan moneter belum sepenuhnya pulih. Kemiskinan masih menjadi masalah yang belum bisa diatasi secara tuntas.
Penyebab ketidakmampuan bangsa dan negara Indonesia mengatasi krisis tersebut di antaranya masih lemahnya kesadaran kebangsaan yang dimiliki warganya. Dengan kata lain, wawasan, kesadaran, dan kebanggaan sebagai bangsa dan negara Indonesia masih belum bersinar.
Tak ada cara lain, krisis multidimensi tersebut harus segera diatasi. Semangat kebangsaan yang meredup perlu dibangkitkan lagi dengan mendalami wawasan kebangsaan Indonesia.
Seperti dikatakan Mensos, buku ini dapat membantu kita memahami pentingnya mencintai bangsa dan negara sebagai pegangan dalam hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia sehingga mampu mengobarkan kembali semangat kebangsaan. Dari sinilah, cita-cita kita menjadi bangsa yang maju, makmur, sejahtera, adil, serta setia kepada Pancasila dan UUD 45, dapat terwujud.
Penulis: Prof Gunawan Sumodiningrat, MEc PhD dan Dr (HC) Ary Ginanjar Agustian